Karena Kamu HITAM
0
Kadang-kadang aku merasa sebel dengan diriku, terutama kulit hitamku. Yah kulitku yang hitam membuatku tidak percay diri. Aku iri sama teman-teman yang kulitnya putih, keliatanya pakai baju apa aja keren. Sedangkan aku Cuma bisa pakai warna yang itu-itu saja. Kalau nga warna putih ya warna-warna yang kalem. Padahal aku pengen juga pakai warna merah. Dan gara-gara kulitku yang hitam ini, aku menjadi bahan ejekan teman-teman ku di sekolah, terutama Dewa.
Seperti tadi pagi di sekolah, aku datang telat , terpaksa aku duduk didepan Dewa karena itu satu-satunya kursi yang kosong. Barusaja aku duduk , suara cemprengnya sudah terdengar.
“Hallo hitam. Ko datangnya telat? Luluran dulu yah?” katanya dengan mukanya yang super gembira dan bikin aku pengen nonjok mukanya.
“Iya,” akhirnya dengan jengkel aku menyahut pendek.
“Luluran ko masih hitam? Kamu salah pakai lulur tuh. Yang kamu pakai pasti lulur penghitam.”
“Sialan.” Makiku dalam hati. Tapi aku diamkan saja suara nyinyirnya.
“Beli pemutih saja, biar kulitmu putih kayak aku.” Suara cempreng Dewa masih terdengar.
Hatiku lama-lama jadi panas juga mendengar ocehanya itu ang super pe-de.
“Emangnya kamu putih?” tanyaku akhirnya, pura- pura nga tahu sama kulit hitamnya itu.
“Iyalah, ini lihat dan bandingkan dengan kulitmu. Putih kulitku kan?” katanya masih dengan kepercayaan diri yang tigginya bisa disaingin dengan langit kali.
Panas banget aku mendengar omonganya. Padahal kulitnya lebih hitam dari pada aku, tapi heranya dia ko bisa dengan percaya dirnya bilang kalau dia berkulit putih? Apa dia nga punya kaca buat bercermin? Buat ngeliat kulitnya sendiri?
“kulit kaya gitu dibilang putih? pengen pingsan aku.” Sahutku jengkel.
Aku masih ingin membalas kata-katanya, tetapi aku sudah melihat guru Ekonomi menuju kelasku. Tertundalah perang besarku denganmakhluk bernama Dewa Aji Dharma.
Setiap hari aku harus menghadapi kecerewetan Dewa. Entah kenapa dia suka sekali mengejekku hitam.
“Dia ada perhatian tuh sama kamu,” kata Eca ketika siang itu aku bertanya tentang
Hal itu padanya.
“Perhatian ko kayak gitu?”
“Ya, setiap orang kan berbeda-beda dalam menunjukkan perhatiannya.”
“Ah, mana mungkin dia perhatian sama aku
Kami sama-sama diam, menikamati siomay dan ec campur dihadapan kami. Memang siomay da ec campur disini paling enak di sekitar sekolahan kami. Tapi kenapa tiba-tiba perasaanku tidak enak yach?
“Hitam, jangan kebanyaka makan siomay, ntar kamu tambah hita,” suara cempreng Dewa sudah kembsli terdengar.
Pantas saja perasaanku tidak enak, ternyata makhluk itu kembali muncul dihadapanku. Heran aku, dimana pun aku ada, dia selalu muncul.
“Heh, ngapain kamu? Mo minta tanda tangan yach?” sahutku cuek.
“Siapa yang mau ngikutin kamu? Memangnya kamu artis diikutin. Kalau dipikir- piker untung juga yach ada orang seperti kamu.”
“Memanya kenapa?” sahutku penasaran.
“Ya untunglah, soalnya produk pemutih kan jadi laku. Coba semua orang kulitnya putih kayak aku, kan pabrik-pabrik produk pemutih bangkrut nga ada yang beli.” Jelasnya panajang lebar.
Aku Cuma melonggo mendengarnya
“Ya, ngga??”
“Ngaakkkk, biar item gini banyak yang naksir tau.”
“Wuihh, pede, siapa juga yang naksir kamu?.”
“ Kamu tuh contohnya.” Sahutku mantap.
“Aku, please dech, kayak nga ada cewek lain aja.” Balasnya sengit.
“Heh denger yach, kulit hitam itu eksotis tau. Orang luar negri aja ngiler liat kulit hitamnya Asia, apalagi yang hitamnya pas kaya aku, nga hitam-hitam banget. Mereka rela berjemur berjam-jam biar punya kulit hitam. Eh kamu tau nga sudah banyak perusahaan daari luar negri yang nawarin aku jadi model.” Kataku panjang lebar nga mau kalah.
“Nah, ngaku juga kalau kamu tuh hitam. Tapi kamu jangan mau jadi model buat perusahaan itu.”
“Emangnya kenapa?” tanyaku penasaran.
“Yah paling-paling kamu dijadikan buat produk pemutih mereka,” katanya sambil mnyeringai penuh kemenangan.
Sial, lagi-lagi aku kalah. Aku cuma bisa menghentakkan kakiku dengan jengkel dan menyambar tas.
Masih terdengar tawanya dan teman-temannya di belakangku.
Tapi pagi ini, tumben Dewa nga terdengar suaranya. Dia duduk di pojok asik cerita sama Tiar. Diam-diam aku measa kehilangan sekaligus merasa damai nga perlu nanggepi kata-katanya.
“Si hitam…”
Tuh baru saja aku merasa damai dia sudah mengganggu lagi.
Aku diam saja
“Hitam, tumben nga telat? Ngga luluran dulu ya?”
Suara Dewa masih saja terdengar. Tapi kenapa aku males banget nanggepinnya yah? Gara- gara tadi asik ngobrok sama Tiar? Heh, apa aku cemburu?
Lama kelamaan Dewa merasa juga kalau aku diamkan. Akhirnya dia pindah duduk dibelakangku.
“Tania kamu marah sama aku yach?” tanyanya pelan.
“ngga” sahutku ketus.
“kok diam saja?”
“Emang suruh ngapain?”
Dewa diam
“Aku punya salah ya masa kamu, wa? Kok kamu tiap hari ngajak perang aku terus?” sahutku sebel.
“Bukan gitu. Tania, sebenarnya, aku seneng kalau kamu marah kamu kelihatan tambah manis.”
“What?”
“Bener,Nia. Aku….”
“Kenapa??”
“Aku suka kamu.”
“Kamu habis jatuh yah? Kepalamu kebentur yah?” sahutku sinis.
“Aku serius sama kamu…,” katanya pelan.
“Ko bisa?”
“Karena…”
“Karena apa??”
“Karena kamu hitam..”
Aku ngga tau harus seneng apa sedih.